mgid.com, 766271, DIRECT, d4c29acad76ce94f

Tidak seperti momentum pemilihan ketua dan pengurus organisasi sosial keagamaan lainnya, di mana pemilihan pengurus sering diwarnai intrik.

Tangerang, postsurabaya.com

Ulama yang tergabung dalam wadah organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Tigaraksa beberapa waktu lalu menyelenggarakan Musyawarah Kecamatan (Muscam) MUI Tigaraksa Masa Khidmat 2022/2027 itu diikuti oleh Pengurus Dewan Pimpinan dan utusan desa/kelurahan se-Kecamatan Tigataksa.

Tidak seperti momentum pemilihan ketua dan pengurus organisasi sosial keagamaan lainnya, di mana pemilihan pengurus sering diwarnai intrik bahkan konflik sejak sebelum pelaksanaan, ketika, dan setelah pelaksanaan.

Suksesi kepemimpinan di MUI biasanya lebih soft, baik suksesi di tingkat pusat, provinsi dan maupun kabupaten/kota. Iklim demikian sekaligus memberikan citra MUI sebagai organisasi yang mewadahi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim.

Iklim suksesi kepemimpinan MUI yang lebih kondusif sedikitnya karena beberapa faktor. Pertama, suksesi kepemimpinan di MUI Kabupaten, sesuai dengan Pedoman Organisasi dilakukan oleh 11 orang tim formatur.

Sedang pemilihan tim formatur dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan representasi: dua orang unsur Dewan Pimpinan MUI Kabupaten Demisioner (Ketua Umum dan Sekretaris Umum); satu orang unsur Dewan Pertimbangan.

Empatorang unsur Dewan Pimpinan MUI Kecamatan; dan empat orang unsur Pimpinan Pondok Pesantren dan/atau tokoh masyarakat yang dipilih secara proporsional.

Faktor kedua, yang tidak kalah pentingnya, bahwa kepemimpinan di MUI adalah amanah yang jauh dari pamrih tertentu, baik pamrih politis, sosial, apalagi finansial.

Amanah kepemimpinan di MUI adalah murni untuk pengabdian dan kemashlahatan umat.

Oleh karena itu, beberapa kekuatan bergabung di MUI, seperti ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim yang tersebar di Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, aktivis organisasi, kekuatan birokrasi Kementerian Agama, pemerintah daerah dan media.

MUI menjadi semacam tenda besar yang harus memayungi semua kekuatan spiritual, intelektual, sosial, yang tersebar di berbagai kekuatan, seperti kekuatan organisasi sosial keagamaan.

Kekuatan birokrasi pemerintahan, kekuatan awak media, kekuatan kamtibmas dan potensi kekuatan lain. Inilah yang sejak awal harus selalu dirajut di MUI sebagai kekuatan organisasi yang tanpa massa.

Kita bisa mengkaji bagaimana MUI didirikan. MUI, yang didirikan di Jakarta pada tanggal 17 Rajab 1395 hijriyah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 masehi dalam pertemuan alim ulama yang dihadiri oleh majelis ulama daerah, pimpinan ormas Islam tingkat nasional.

Pembina kerohanian dari empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian Republik Indonesia), serta beberapa tokoh Islam.

Momentum penting ini terdokumentasi secara cantik dalam “Piagam Berdirinya Majelis Ulama Indonesia Tahun 1975”.

Sebagai lembaga, MUI bukan merupakan federasi ormas-ormas/kelembagaan Islam. MUI juga bukan termasuk organisasi kemasyarakatan (ormas), karena MUI tidak memiliki stelsel keanggotaan yang merupakan salah satu ciri dari organisasi kemasyarakatan.

Seperti disebutkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, dan MUI juga bukan badan hukum, tetapi merupakan representasi ormas Islam yang mewadahi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim.

Namun demikian, karena keharusan dan ketentuan perundang-undangan, maka MUI juga harus terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-00085.60.10.2014 tentang.

“Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Majelis Ulama Indonesia”, tertanggal 25 April 2014.

Kini, setelah hampir setengah abad MUI berkiprah di panggung sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, kini adalah saat yang tepat untuk diformulasi ulang bagaimana MUI.

Harus memantapkan sinergi antara ulama, zuama dan cendekiawan Muslim. Berikut hanyalah butir-butir yang perlu direnungkan bersama sebagai argumen.

Pertama, tugas berdakwah adalah tugas ber-amar makruf nahi munkar.

Ber-amar makruf nahi munkar adalah tugas bersama, tugas ulama, zuama dan cendekiawan, karena tiga komunitas inilah yang diberi amanah lebih dibanding komunitas lainnya.

Ulama adalah ahli agama (‘alim) yang tekun beribadah dan memberikan keteladanan sesuai tuntutan kealimannya.

Zuama, oleh KH Achmad Siddiq (Rois ‘Am PBNU 1984-1991, asal Jember) digunakan untuk menyebut para pejuang, seperti para aktivis organisasi yang berjuang dan berdakwah lewat organisasinya dan para jurnalis yang berjuang dan berdakwah dengan penanya.

Sedang cendekiawan Muslim adalah kekuatan intelektual yang selalu terlibat dalam proses pencerahan masyarakat, khususnya masyarakat Islam.

Komunikasi ini kebanyakan terdiri dari akademisi dan kaum terpelajar yang terlibat dalam kehidupan masyarakat.

Kedua, dalam konteks ber-amar makruf, masing-masing pribadi atau institusi bisa ber-amar makruf sesuai posisi dan keahliannya, semua bisa mengambil posisi dan peran di depan.

Bersinergi tentu akan lebih baik, dan beramar mak’ruf harus dilakukan dengan cara-cara yang ma’ruf. Namun demikian, dalam konteks ber-nahi munkar, bersinergi lebih diutamakan.

Akan kurang optimal jika dilakukan sendiri, tanpa melakukan sinergi, karena memang banyak segi yang menjadi alasan untuk selalu disinergikan.

Terlebih, sekarang dan kedepan bukan saatnya membesarkan MUI sendirian karena tantangan semakin kompleks, MUI harus dibesarkan bersama-sama dengan kekuatan lain.

Ketiga, ketika kita berkomitmen untuk bersinergi, tentu perlu strategi yang sesuai agar tujuan bisa tercapai secara baik.

Ulama bisa ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan dakwah bil-lisan dan bil hal melalui pengajian, tarbiyah, ta’lim, dan sebagainya.

Zuama’, khususnya jurnalis bisa ber-amar makruf nahi munkar dengan dakwah bil-qalam, dengan kekuatan penanya, karena kemampuan menulis adalah kompetensi utama seorang jurnalis.

Peran jurnalis, diakui sangat penting sejak awal sejarah Islam, terlebih penulis wahyu. Bagaimana mungkin kita bisa membaca Alquran.

Hadis dan sirah nabawiyah tanpa peran penulis wahyu dan para jurnalis? Karena itu, peran jurnalis sejati, bukan hanya penyampai warta, tetapi sekaligus adalah pendidik umat.

Selain itu, cendekiawan Muslim bisa ber-amar makruf nahi munkar dengan kekuatan intelektualnya memberikan solusi agar para fuqara dan masakin bisa memperoleh akses pendidikan dan ekonomi memadai.

Agar pelaku kemunkaran dan kema’siatan bisa ruju’ ilal haqq, dan agar MUI konsisten membuka islam wasathiyah dalam era digital.

Semua memiliki kewajiban berdakwah, agar umat paham bahwa ber-amar makruf nahi munkar adalah usaha sekuat tenaga, dengan cara yang sebaik-baiknya.

Menggunakan alat yang ada untuk tercapainya tujuan, yakni terlaksananya segala kebaikan yang diajarkan oleh Islam dan tercegahnya segala keburukan yang dilarang oleh Islam.

Komitmen ini tentu menjadi kewajiban dan sikap hidup setiap muslim,

Sesuai dengan posisi, kondisi dan situasinya masing-masing, terkhusus para ulama, zuama dan cendekiawan muslim.

Sangat tepat jika Musyawarah Kecamatan MUI Tigaraksa Tahun 2023 mengambil tema “Melalui Muscam MUI kita perkuat sinergitas Ulama dan Umaro menuju masyarakat Tigaraksa yang Baldatun Toyyibatun Warrobun Ghoffur”.

Tema yang sangat keren, mewujudkannya tentu harus tercipta kebersamaan, karena tantangan semakin kompleks.

Ke depan, tidak ada pilihan lain dalam berikhtiar membumikan Islam wasathiyah kecuali harus memperkuat sinergi dengan banyak kekuatan, khususnya kekuatan Ulama, Zuama’ dan Cendekiawan Muslim. Wallahu a’lam.

trisno red

[otw_is sidebar=otw-sidebar-7]

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Comments are closed.